Hukum Wakaf | Tentang Wakaf | Zakat Wakaf | Wakaf | Pegertian Wakaf | Badan Wakaf | Zakat Dan Wakaf | Wakaf Tunai | Wakaf Quran | Wakaf Online

Hukum Wakaf, Tentang Wakaf, Zakat Wakaf, Wakaf, Pegertian Wakaf, Badan Wakaf, Zakat Dan Wakaf, Wakaf Tunai, Wakaf Quran, Wakaf Online


Tinggalkan komentar

HUKUM WAKAF DAN KETENTUANNYA

HUKUM WAKAF DAN KETENTUANNYA

Apa Yang Dimaksud Dengan Wakaf?

Menurut bahasa Arab (literal), kata “al-waqaf” bermakna “al-habsu” (menahan).[1]  Bentuk mutaradif (sinonim) dari kata “waqaf” adalah tahbiis dan tasbiil.[2]

Sedangkan menurut syariat, “al-waqaf” adalah menahan benda yang menjadi milik pewaqaf dan menyedekahkan kemanfaatannya di jalan Allah[3].  Menurut Abu Yusuf dan Mohammad, waqaf adalah menahan benda agar tidak bisa dimiliki , dan agar manfaatnya bisa disedekahkan.  Oleh karena itu, kepemilikan benda tersebut beralih kepada kepemilikan Allah.[4]

Menurut ‘ulama-ulama Syafi’iyyah, Hukum wakaf dalam konteks syariah adalah menahan harta yang mungkin bisa dimanfaatkan selama bendanya masih langgeng (awet) dengan cara memutuskan hak kepemilikan atas harta tersebut, dan dialihkan untuk kepentingan-kepentingan yang dibolehkan.[5]

Apa Status Hukum Wakaf? 

Hukum wakaf adalah sunnah (mandub);  dan ia termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah swt yang sangat disukai dan dianjurkan di dalam Islam[6].  Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya menurut Imam Asy Syafi’iy, waqaf merupakan kekhususan bagi umat Islam, dan belum pernah dikenal pada masa jahiliyyah. [Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy, Fath al-Baariy, juz 8/350]

Apa Dasar Hukum Penetapan Waqaf Di Dalam Islam?

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy[7], asal pensyariatan waqaf didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Umar ra tentang kisah waqafnya Umar bin Khaththab ra:

أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

Sesungguhnya Umar ra pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar.  Lalu, beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu, seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu”.  Nabi saw pun bersabda, “Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata, “Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat,  para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil , dan para tamu.  Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya…” [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Ketika menjelaskan hadits di atas, Imam Ibnu Hajar menuturkan sebuah riwayat dari Imam Ahmad bahwasanya Ibnu Umar berkata, ”Waqaf pertama kali di dalam Islam adalah sedekahnya (waqafnya) Umar”.   Riwayat ini diperkuat oleh hadits yang dituturkan dari ’Amru bin Sa’ad bin Mu’adz, bahwasanya ia berkata, ”Kami bertanya tentang waqaf pertama kali di dalam Islam.  Kaum Muhajirin menjawab, ”Waqafnya Umar”.  Sedangkan kaum Anshor menjawab, ”Waqafnya Rasulullah saw”.[8]

Pensyariatan waqaf juga disandarkan para sebuah hadits yang dituturkan Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

       “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.”[HR. Muslim, Imam Abu Dawud, dan Nasa’iy]

Imam Ibnu Katsirmengatakan,”Pada hakekatnya, tiga amal perbuatan ini termasuk usaha dan perbuatannya sendiri; seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadits shahih, “Sesungguhnya, rejeki yang paling baik adalah apa yang dimakan seorang laki-laki dari hasil usahanya sendiri; dan anaknya termasuk hasil usahanya.” Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya, merupakan bekas-bekas amal perbuatannya dan peninggalannya.   Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan“[TQS. Yaasiin (36) :12].  Ilmu yang ia sebarkan ke tengah-tengah manusia, kemudian diikuti oleh manusia setelah kematiannya; ini juga merupakan usaha dan amal perbuatannya.   Telah disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah saw bersabda,”Siapa saja yang mengajak kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikuti petunjuk itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”[9]

Imam Nawawiy, dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:

Para ulama menyatakan, bahwa amal perbuatan orang yang telah meninggal dunia terputus dengan kematiannya, kecuali tiga hal iniSebab, tiga perkara tersebut berasal  dari usaha orang yang telah meninggal itu sendiri.  Sesungguhnya, anak shaleh termasuk hasil usahanya; demikian pula dengan ilmunya yang terus diajarkan atau dikaji setelah kematiannya, dan sedekah jariyah, yakni wakaf.. Pahala doa akan sampai kepada orang yang mati, demikian juga sedekah.[10]

            Menurut Imam Mubarakfuriy dalam Tuhfat al-Ahwadziy ; yang dimaksud dengan terputusnya amal seseorang, adalah terputusnya ganjaran dan pahala dari amal perbuatannya, kecuali  tiga perkara.  Pahala dari tiga perkara ini tidak akan terputus; yakni sedekah jariyah yang berujud wakaf dan sedekah-sedekah yang tidak hilang manfaatnya; ilmu pengetahuan yang ditinggalkannya; dan anak sholeh yang selalu mendoakan dirinya.  Menurut Ibnu Malik anak di sini ditaqyid (dibatasi) dengan anak sholeh.   Sebab, pahala tidak akan didapatkan dari anak yang tidak sholeh.[11]

Imam al-Sanadiy dalam Syarah Sunan al-Nasaiy mengatakan; maksud terputusnya amal di sini adalah terputusnya pahala dari seluruh perbuatannya, kecuali pada tiga perbuatan.  Ada sebagian ulama yang berpendapat, bahwa bentuk semacam ini adalah pengecualian yang dikaitkan dengan mafhum.   Artinya, seluruh amal perbuatan anak Adam terputus kecuali tiga amal perbuatan tersebut.[12]

          Al-Hafidz al-Suyuthiymengatakan,” Syaikh Waliy al-Diin berpendapat, bahwa pahala dari tiga perkara ini tetaplah mengalir setelah kematian seseorang, dikarenakan adanya buah perbuatan mereka setelah dirinya meninggal, persis seperti ketika ia hidup di dunia.  Adapun yang dimaksud dengan sedekah jariyah di sini adalah wakaf. Menurut Qadliy ‘Iyadl, amal perbuatan seseorang terputus berbarengan dengan kematiannya.  Akan tetapi, selama orang tersebut menjadi sebab atau yang mengusahakan tiga perkara ini, yakni memiliki anak sholeh, dan ilmunya tetap disebarkan di tengah-tengah manusia,  atau ia memiliki karangan yang tetap digunakan setelah kematiannya, atau melakukan sedekah jariyah, maka pahalanya akan tetap mengalir selama ketiga hal itu masih ada.”[13]

Dalam kitab ‘Aun Ma’bud disebutkan, bahwa faedah atau pahala baru amal perbuatan seseorang telah terputus kecuali, pahala dari tiga hal  Pahala dari tiga hal ini — sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh–, akan tetap mengalir.[14]

Senada pengertiannya dengan hadits di atas, Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

Sesungguhnya, diantara perbuatan dan kebaikan-kebaikan yang akan mengikuti seorang Mukmin setelah kematiannya adalah, ilmu yang disebarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya, mushhaf yang diwariskannya, masjid yang didirikannya, rumah yang didirikannya untuk ibnus sabil, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya sewaktu sehatnya dan hidupnya; semuanya akan mengikutinya setelah kematiannya”.[HR. Ibnu Majah]

Hadits lain yang menunjukkan bahwa waqaf termasuk sunnah Nabi saw adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata;

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Rasulullah saw telah memerintahkan para shahabat untuk membayar zakat. Lalu, dikatakan bahwasanya Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib ra menolak membayar zakat.  Nabi saw pun bersabda, “Tidaklah Ibnu Jamil menolak (membayar zakat) kecuali karena ia adalah fakir.  Lalu, Allah swt dan RasulNya mengayakan dirinya.  Adapun Khalid; sesungguhnya kalian telah mendzalimi Khalid.  Sungguh, Khalid telah menahan (mewaqafkan) baju besinya, dan menyediakannya untuk berperang di jalan Allah……”[HR. Bukhari dan Muslim]

Apa Perbedaan Antara Zakat Dengan Waqaf?

  1. Dari sisi hukumnya, zakat berhukum wajib sedangkan waqaf berhukum sunnah (mandub).
  2. Orang yang diberi harta zakat, maka ia berhak atas kepemilikan benda dan manfaatnya sekaligus.  Fakir miskin, ketika mendapatkan seekor kambing zakat misalnya, maka ia berhak memiliki kambing itu, dan semua manfaat dari kambing tersebut.  Sedangkan pada kasus waqaf; penerima waqaf hanya berhak mengambil manfaat dan guna dari harta waqaf, dan ia tidak berhak memiliki atau menghabiskan harta waqafnya.  Pada waqaf hewan ternak, misalnya waqaf kambing, maka penerima waqaf hanya berhak mengambil air susunya, atau manfaat dari kambing tersebut; sedangkan kambingnya tidak berhak ia miliki.
  3. Zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan yang telah disebutkan di dalam al-Quran.  Sedangkan waqaf diperuntukkan tidak hanya bagi 8 golongan itu saja.
  4. Pada harta zakat tertentu disyaratkan adanya haul dan nishab. Adapun pada waqaf, tidak ada syarat haul dan nishab.
  5. Jumlah zakat yang harus dikeluarkan dari harta-harta yang wajib dizakati telah ditentukan; misalnya, zakat emas dan perak sebesar 1/40, dan lain sebagainya.  Dalam kasus waqaf, tidak ada ketentuan spesifik mengenai jumlah harta yang meski diwaqafkan.

Apa Perbedaan Waqaf Dengan Sedekah?

  1. Waqaf termasuk bagian dari sedekah.  Hanya saja, pada waqaf yang diambil hanyalah manfaat atau guna dari harta waqaf tersebut, tanpa melenyapkan harta waqafnya.   Dengan kata lain, orang yang diberi waqaf hanya berhak atas manfaatnya belaka. Sedangkan sedekah dalam pengertian umum, adalah menyerahkan harta dan gunanya sekaligus kepada orang lain.  Dengan demikian, penerima waqaf hanya berhak atas manfaat dan gunanya saja, tidak pada bendanya.  Berbeda dengan sedekah; penerima sedekah berhak atas benda dan manfaatnya sekaligus.

Apa Perbedaan Waqaf Dengan Hibah (Hadiah)?

  1. Hibah (hadiah) adalah pemberian harta milik seseorang pada saat masih hidup kepada orang lain.  Hibah terjadi pada benda-benda yang mubah apapun; mulai dari makanan, minuman, uang, baju, rumah, tanah, dan lain sebagainya.  Sedangkan harta yang diwaqafkan disyaratkan harus tetap utuh atau awet ketika dimanfaatkan. Tidak boleh mewakafkan harta yang mudah rusak, habis atau lenyap saat dimanfaatkan.  Syarat seperti ini tidak berlaku pada harta yang hendak dihibahkan.
  2. Harta yang dihibahkan maupun manfaatnya berhak dimiliki oleh penerima hibah.  Adapun pada kasus waqaf, penerima waqaf hanya berhak atas manfaat dan gunanya saja

Seseorang Ingin Mewaqafkan Hartanya; Lalu Bagaimana Caranya?

Bila seseorang ingin waqaf, tatacaranya adalah sebagai berikut;

  1. Berniat waqaf di dalam hati.
  2. Menyerahkan harta waqaf kepada nadzir (pengurus waqaf) jika memang diperlukan, dengan melafadzkan sighat waqaf yang jelas (sharih), ”Saya mewaqafkan harta saya karena Allah, untuk tujuan ini atau itu (disebutkan tujuan dan kepentingannya, misalnya pembangunan masjid, rumah singgah, perpustakaan, kantor, dan lain sebagainya)”.  Ketentuan ini berlaku jika waqafnya ’ala al-jihah(waqaf yang penerimanya tidak spesifik orang tertentu, tetapi diberikan untuk tujuan-tujuan kebaikan saja).  Tidak harus ada qabul untuk waqaf ’alal jihah.
  3. Jika waqaf diserahkan untuk orang tertentu, misalnya untuk ayah ibu, kerabat, atau orang-orang tertentu, maka sighat waqafnya harus disebutkan kepada siapa waqaf itu diberikan.  Misalnya, ”Saya waqafkan harta saya untuk si fulan atau fulanah karena Allah, agar bisa digunakan untuk ini atau itu (disebutkan pemanfaatannya, misalnya untuk ditinggali, digarap, diambil susunya, dan lain sebagainya), jika waaqif mensyaratkan pemanfaatannya untuk manfaat-manfaat tertentu”.  Lalu, penerima waqaf harus mengucapkan qabulnya, ”Saya terima waqafnya si fulan atau fulanah, digunakan untuk tujuan ini atau itu (disebutkan pemanfaatannya) karena Allah swt”.
  4. Jika waaqif mensyaratkan syarat-syarat tertentu, syarat-syarat itu harus disampaikan dengan jelas dan tegas.
  5. Dicatat dalam Lembaran Aqad Waqaf untuk digunakan sebagai alat bukti (bayyinah), jika sewaktu-waktu ada perselisihan atau persengketaan dengan menyertakan dua orang saksi yang adil.

 

Ketentuan Apa Saja Yang Harus Dipenuhi Oleh Orang Yang Hendak Mewaqafkan Hartanya (Waaqif)?

Orang yang hendak mewaqafkan hartanya harus memenuhi ketentuan berikut ini;

a)   Di dalam Kitab Raudlatuth Thalibin dinyatakan bahwa waaqif (orang yang mewaqafkan) disyaratkan adalah orang-orang yang shahihul ‘ibaarah wa ahlul tabarru’ (sah tindakannya dan memang mampu dalam bersedekah).

b)   Adapun yang dimaksud dengan shahihul ‘ibarah adalah orang yang ucapan dan tindakannya diakui secara hukum, dan atas pilihannya sendiri (bukan karena paksaan). Termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang kafir.  Jika orang-orang kafir mewaqafkan hartanya, maka sahlah waqaf itu bagi kaum Muslim[15].   Tidak sah waqaf dari anak kecil (belum baligh), orang gila, dan orang yang dipaksa.

c)   Sedangkan yang dimaksud dengan ahlul tabarru’ adalah orang itu memang mampu mewaqafkan hartanya.  Termasuk kategori ini orang yang sedang terkena sakit keras dan hampir mendekati ajalnya[16]. Oleh karena itu, waqaf tidak sah dari orang-orang yang bodoh (idiot), dan orang-orang yang pailit.[17]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa waaqif haruslah orang-orang yang perbuatan dan ucapannya diakui, berakal, baligh, merdeka, dan atas pilihannya sendiri (tidak dipaksa);[18] dan mampu bersedekah.[19].

 

Apakah Semua Harta Bisa Diwaqafkan?  Harta Apa Saja Yang Sah Untuk Diwaqafkan?

Tidak semua harta sah untuk diwaqafkan.  Harta yang sah diwaqafkan harus memenuhi ketentuan berikut ini;

a)   Harta yang diwaqafkan haruslah harta mubah, tertentu, telah dimiliki karena sebab-sebab kepemilikan tertentu dan bisa diambil guna dan faedahnya untuk hal-hal yang dibolehkan oleh syariat.  Atas dasar itu, tidak boleh mewaqafkan harta jaminan (borg), harta haram, babi, anjing, dan binatang buas lain yang tidak bisa dijadikan sebagai hewan pemburu[20].

b)   Harta tersebut tetap utuh atau awet ketika dimanfaatkan, baik barang itu bergerak[21] maupun tidak bergerak.  Tidak boleh mewakafkan harta yang mudah rusak, habis atau lenyap saat dimanfaatkan.  Oleh karena itu tidak boleh mewaqafkan uang, makanan, minuman, lilin, benda-benda yang cepat menguap, seperti parfum, gas, dan lain sebagainya.

Dari ketentuan di atas disimpulkan bahwa harta yang boleh diwaqafkan adalah harta mubah, yang bisa diambil manfaatnya, serta tidak mudah rusak atau habis jika dimanfaatkan.  Oleh karena itu, seseorang boleh mewaqafkan tanah, rumah, perkakas yang bisa dipindahkan, baju besi, buku, mushhaf al-Quran, senjata, binatang, dan barang-barang yang boleh dimanfaatkan dan diperjualbelikan asalkan tidak habis atau lenyap saat dimanfaatkan.

 

Bolehkah Mewaqafkan Dinar dan Dirham?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.  Mayoritas ulama tidak memperbolehkan waqaf dinar dan dirham.  Pasalnya, dinar dan dirham termasuk benda yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskan bendanya.  Padahal, pemanfaatan waqaf hanya sebatas pada guna dan manfaatnya saja, dan pemanfaatan itu tidak boleh sampai merusak atau melenyapkan substansi benda waqafnya[22].   Menurut penuturan Imam Al-Shan’aniy, inilah pendapat kuat yang dipegang oleh mayoritas ulama.  Sedangkan ulama lain memperbolehkan dengan catatan; dinar dan dirham tersebut diserahkan untuk di-syirkah mudlarabah-kan, kemudian keuntungan dari syirkah mudlarabah itu disedekahkan untuk tujuan waqaf.  Hanya saja, pendapat ini akan bertentangan dengan larangan menyimpan emas dan perak walaupun dikeluarkan zakatnya.  Allah swt berfirman;

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍوَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwasanya mereka akan mendapatkan) siksa yang amat pedih”.[TQS At Taubah (9):34].  Mewaqafkan emas dan perak (dinar dan dirham) tak ubahnya dengan menyimpannya untuk selama-lamanya. Dan tindakan semacam ini dilarang, walaupun pemiliknya mengeluarkan zakatnya.

Selain itu, emas dan perak (dinar dan dirham) adalah mata uang (alat tukar/medium exchanger) yang harus terus beredar di tengah-tengah masyarat, demi stabilitas perekonomian negara dan masyarakat.

Kepada Siapa Waqaf Diberikan?

Waqaf harus diberikan kepada orang tertentu, atau untuk tujuan tertentu yang dibenarkan oleh syariah. Ketentuan yang berhubungan dengan penerima waqaf adalah sebagai berikut;

a)   Waqaf  harus diperuntukkan untuk pihak tertentu, misalnya, waqaf yang diperuntukkan bagi anaknya, kerabatnya, ataupun pihak-pihak tertentu; atau untuk kebaikan; misalnya, untuk pembangunan masjid, perkantoran, pencetakan buku-buku fikih, ilmu pengetahuan, dan al-Quran; dan lain sebagainya.  pengembangan ilmu pengetahuan[23].

b)   Waqaf dianggap tidak sah jika diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak tertentu, misalnya untuk laki-laki, atau perempuan; atau ditujukan untuk kemaksiyatan, misalnya waqaf untuk gereja, biara, dan lain sebagainya.

c)   Waqaf boleh diperuntukkan bagi ahlu dzimmah (orang kafir yang menjadi warga Daulah Islamiyyah), asalkan untuk tujuan kebaikan, bukan untuk kemaksiyatan[24].   Sedangkan waqaf yang diperuntukkan bagi kafir harbiy dan kaum murtad dianggap tidak sah[25].

Dengan demikian, waqaf dinyatakan sah jika ditujukan untuk orang-orang tertentu (mu’ayyanah).  Waqaf juga dianggap sah jika ditujukan untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah swt walaupun penerimanya tidak tertentu.  Misalnya, waqaf rumah yang diperuntukkan bagi faqir miskin (ghairu mu’ayyanah), alim ulama, ibnus sabil, dan lain sebagainya.   Waqaf semacam ini disebut dengan waqaf ‘ala al-jihah.[26]

 

Apakah Penyerahan Waqaf Dari Pewaqaf Kepada Penerima Waqaf Harus Dilafadzkan Dengan Shighat Waqaf?      

a)   Waqaf baru dianggap sah, jika waaqif melafadzkan dengan sharih shighat waqaf[27].  Misalnya, saya mewaqafkan tanah ini kepada si fulan, atau fulanah; atau saya waqafkan tanah ini untuk pembangunan masjid, perpustakaan, dan lain sebagainya.

b)   Waqaf tidak dianggap sah, jika waaqif tidak melafadzkan lafadz yang menunjukkan waqaf secara sharih.

c)   Jika waqaf ditujukan untuk orang tertentu atau kelompok tertentu, maka harus ada qabul dari kedua belah pihak.

d)   Adapun waqaf ‘alal jihah, misalnya untuk masjid, rumah singgah kaum fakir miskin, dan lain sebagainya; maka tidak disyaratkan adanya qabul (penerimaan) dari penerima waqaf.

Apakah Di Dalam Waqaf Ada Syarat-syarat Yang Harus Dipenuhi?

Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat Alfaadz al-Minhaaj dinyatakan bahwa syarat waqaf ada empat macam;

  1. al-Ta’biid (berlaku untuk selama-lamanya).  Menurut jumhur ulama, jika waqaf dibatasi oleh waktu, misalnya saya waqafkan ini selama setahun, maka waqaf seperti ini batal.
  2. 2.   al-Tanjiiz, yakni saat itu juga (kontan),  atau tidak ada penundaan.  Waqaf dianggap batal jika seseorang mengatakan “saya akan waqafkan ini jika saya memiliki dua orang anak”, sedangkan pada saat itu ia tidak memiliki anak.
  3. Al-Ilzaam (mengikat). Waqaf dianggap batal jika waqaf disyaratkan dengan khiyar, atau ada orang berkata, “saya akan waqaf, dengan syarat saya boleh menjualnya, atau menariknya setiap saat. Waqaf semacam ini tidak dianggap batal.
  4. 4.   Bayaan al-Musharrif, harus dijelaskan kepada siapa waqaf itu diberikan, atau untuk tujuan apa.   Waqaf tidak dianggap sah, jika seseorang mengatakan, “Saya waqafkan rumah ini”, tanpa menyebut untuk siapa dan untuk tujuan apa waqaf itu.  Hanya saja, sebagian ulama membolehkan waqaf semacam ini (waqaf muthlak).[28]

 

Apakah Harta Waqaf Boleh Dijual, Dihibahkan, dan Diwariskan?

Waqaf tidak boleh dijual, dihibahkan, diwariskan, ataupun diperlakukan hingga melenyapkan kewaqafannya.  Ketentuan ini didasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata,

أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ

Sesungguhnya Umar ra pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar.  Lalu, beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu, seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu”.  Nabi saw pun bersabda, “Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata, “Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan..”[HR Imam Bukhari dan Muslim]

Bolehkah Mewaqafkan Harta Yang Masih Bergabung Dengan Harta Milik Orang Lain?

Waqaf juga diperbolehkan pada harta yang masih bergabung dengan milik orang lain. Sebagaimana perilaku Umar bin Khaththab yang mewaqafkan al-Maatu al-Sahm di daerah Khaibar dan tanah itu belum dibagi-bagikan kepada shahabat lain yang juga berhak.   Imam Bukhari juga berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik ra mengenai waqaf kebun yang dilakukan oleh penduduk Bani Najjar untuk pembangunan masjid.  Imam Bukhari, Imam Turmudziy dan An Nasaaiy menuturkan sebuah riwayat dari Anas ra, bahwasanya ia berkata;

لما قدم رسول الله المدينة و امر ببناء المسجد, قال: يا بنى النجار ثامنوني بحائطكم هذا؟ فقالوا : و الله لا نطلب ثمنه إلا الى الله

Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, maka beliau memerintahkan untuk membangun masjid.  Beliau saw bersabda, “Wahai Bani Najjar apakah kamu bersedia menjual kebunmu ini? Mereka pun menjawab, “Demi Allah, kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah swt”.[HR. Imam Bukhari, Turmudziy, dan An Nasaaiy].

 

Apakah Orang Yang Mengurus atau Mengelola Harta Waqaf Boleh Mengambil Bagian Dari Hasil Waqaf?  Jika Boleh, Berapa Kadarnya?

Orang yang mengurusi waqaf diperbolehkan mengambil sebagian hasil waqaf.   Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar;

لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

”Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya..”[HR Bukhari dan Muslim]

Adapun berapa jumlah yang boleh diambil oleh pengelola zakat, maka syariat tidak menetapkan secara kuantitatif.   Syariat hanya menetapkan batasnya dengan ukuran yang bersifat kualitatif, yakni “dengan cara yang makruf”.  Ukuran makruf di sini dikembalikan kepada kadar kepantasan dan kepatutan kebiasan masyarakat setempat.

Bolehkah Orang Yang Tengah Sakit Keras Mewaqafkan Hartanya?

Waqaf dari orang yang sakit keras dianggap sah sebagaimana wasiat.  Jika ia tidak menetapkan berapa jumlahnya, maka waqafnya diambil 1/3 dari jumlah hartanya tidak boleh lebih, dan tidak harus meminta ijin keluarganya.  Namun, jika harta yang diwaqafkan lebih dari sepertiga, maka tidak sah kelebihan dari 1/3 itu, kecuali diijinkan oleh keluarganya[29].

Apa Manfaat Dan Faedah Waqaf?

  1. Dengan waqaf, waaqif (orang yang mewaqafkan) berhak memperoleh pahala dari Allah swt, tidak hanya pada saat ia hidup saja, akan tetapi juga setelah kematiannya.  Bahkan, waaqif diperkenankan mewaqafkan hartanya untuk orang lain yang telah meninggal dunia; seperti, waqaf untuk ibu, bapak, suami, isteri, kerabat, atau orang-orang yang dicintainya yang telah meninggal dunia.
  2. Dengan waqaf akan tumbuh sifat dan karakter mulia, semacam, kedermawanan, welas asih dengan sesama, perhatian terhadap kepentingan Islam dan kaum Muslim, menjalin hubungan sosial yang dilandasi kasih dan sayang, dan lain sebagainya.
  3. Dengan waqaf, syiar dan dakwah Islam bisa dikembangkan secara maksimal.   Para shahabat telah terbiasa mewaqafkan kuda, anak panah, baju besi, dan lain sebagainya untuk menopang dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.  Shahabat juga mewaqafkan kebun, tanah, maupun rumahnya untuk kepentingan syiar-syiar keislaman.
  4. Dengan waqaf, kemashlahatan dan kepentingan masyarakat bisa dipenuhi; seperti pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.
  5. Dengan waqaf, Allah swt akan memberikan keberkahan pada harta waaqif.

Bagaimana Waqaf Di Masa Nabi dan Shahabat?  Adakah Riwayat-riwayat Shahih Yang Menuturkan Waqaf Di Masa Nabi dan Para Shahabat?

Nabi saw selalu menganjurkan shahabatnya bersedekah untuk bekal di kehidupan setelah mati.  Salah satu sedekah yang beliau anjurkan adalah waqaf. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.”[HR. Muslim, Imam Abu Dawud, dan Nasa’iy]

Imam Ahmad dan Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

مَنْ احْتَبَسَ فَرْسًا فِى سَبِيْلِ اللهِ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا فَإِنَّ شَعْيَهُ وَ رَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِى مِيْزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَسَنَاتٌ

Barangsiapa mewaqafkan seekor kuda di jalan Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka makanan, kotoran, dan kencingnya akan menjadi kebaikan-kebaikan di timbangannya kelak di hari kiamat”.[HR. Imam Ahmad dan Bukhari]

Pada saat Nabi saw ditanya Umar ra mengenai apa yang selayaknya ia lakukan terhadap  tanahnya di Khaibar, maka Nabi saw menganjurkan Umar ra untuk mewaqafkannya.  Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah hadits dari Ibnu Umar ra, bahwasanya beliau berkata:

أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

Sesungguhnya Umar ra pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar.  Lalu, beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu, seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu”.  Nabi saw pun bersabda, “Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata, “Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat,  para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil , dan para tamu.  Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya…” [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Tatkala Sa’ad bin ‘Ubadah ra berkehendak untuk berbuat baik kepada ibunya yang telah meninggal, Nabi saw menyarankan agar  ia membuat sumur untuk ibunya.  Imam al-Nasaiy meriwayatkan sebuah hadits dari Sa’ad bin ‘Ubadah;

عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ سَقْيُ الْمَاءِ

Dari Sa’ad bin Ubadah dituturkan, bahwa ia berkata kepada Rasulullah saw,” Sesungguhnya ibu saya telah meninggal dunia.  Lantas, apakah bermanfaat jika aku bersedekah untuknya?  Rasulullah saw menjawab, “Ya.”  Saya bertanya lagi, “Sedekah apa yang paling utama?”   Rasulullah saw menjawab, “Menggali sumur.” [HR. al-Nasaa’iy]

Imam Abu Dawud juga meriwayatkan sebuah hadits dengan makna yang sama.

عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمَّ سَعْدٍ مَاتَتْ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ الْمَاءُ قَالَ فَحَفَرَ بِئْرًا وَقَالَ هَذِهِ لِأُمِّ سَعْدٍ

Dari Sa’d bin ‘Ubadah dituturkan, bahwa ia berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, ibu saya telah meninggal dunia.  Lantas sedekah apa yang paling utama?  Beliau menjawab, “Menggali sumur.”[HR. Abu Dawud]

Imam Bukhari, Muslim dan Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits dari Anas ra, bahwasanya ia berkata, “Adalah Abu Thalhah, beliau adalah orang Anshor yang paling banyak memiliki harta di Madinah.  Harta yang paling ia cintai adalah kebun kurma yang bernama Bairuha`. Kebun ini berhadapan dengan masjid Nabawi.  Rasulullah saw seorang memasuki kebun itu dan meminum air yang segar di dalamnya.  Ketika diturunkan firman Allah “lan tanaalul birra hatta tunfiquu mimmaa tuhibbuun”[Sekali-kali kamu tidak akan sampai kepada kebaikan hingga kamu menginfaqkan apa yang kamu cintai, TQS Ali Imron (3):92], maka pergilah Abu Thalhah ra kepada Rasulullah saw dan berkata, “Sesungguhnya Allah swt telah berfirman di dalam KitabNya, “lan tanaalul birra hatta tunfiquu mimmaa tuhibbuun”.  Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha`, dan harta ini aku sedekahkan karena Allah, di mana aku hanya mengharapkan kebaikan dan simpanan pahala dari harta itu. Ambillah harta itu menurut kehendakmu.  Rasulullah saw bersabda, “Bakh.  Ini adalah harta yang sangat menguntungkan (2X)”. Aku telah mendengar apa yang engkau katakana tentang Bairuha`.  Aku berpendapat agar engkau waqafkan kebun ini untuk kerabat.  Maka Abu Thalhah pun segera membagi-baginya untuk kerabatnya dan anak-anak pamannya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Imam Bukhari, Imam Turmudziy dan An Nasaaiy menuturkan sebuah riwayat dari Anas ra, bahwasanya ia berkata;

لما قدم رسول الله المدينة و امر ببناء المسجد, قال: يا بنى النجار ثامنوني بحائطكم هذا؟ فقالوا : و الله لا نطلب ثمنه إلا الى الله

Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, maka beliau memerintahkan untuk membangun masjid.  Beliau saw bersabda, “Wahai Bani Najjar apakah kalian akan meminta kepadaku harga atas kebunmu ini? Mereka pun menjawab, “Demi Allah, kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah swt”.[HR. Imam Bukhari, Turmudziy, dan An Nasaaiy]

Imam Bukhari dan Muslim juga mengetengahkan sebuah riwayat bahwasanya Nabi saw bersabda;

قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Sungguh, Khalid telah menahan (mewaqafkan) baju besinya, dan menyediakannya untuk berperang di jalan Allah……”[HR. Bukhari dan Muslim]

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan betapa waqaf telah menjadi bagian integral  yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Nabi dan para shahabat.

Khatimah

Wakaf adalah sunnah Nabi saw dan generasi salafush shalih.  Di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar, baik bagi waaqif, naadzir (pengurus waqaf), maupun orang-orang yang menerima dan berhak memanfaatkan waqaf.

Bagi waaqif, wakaf adalah investasi berharga di akherat kelak.  Pasalnya, ketika banyak orang sudah tidak memiliki lagi “penghasilan akherat” akibat kematiannya, waaqif akan tetap mendapatkan aliran “penghasilan itu” sampai hari kiamat.  Tentunya, hal ini merupakan kesuksesan luar biasa!

Waqaf juga menunjukkan kesempurnaan kebaikan seseorang.  Jika kebaikan telah ada pada diri seseorang, niscaya hidupnya akan selalu dilimpahi kemudahan dan keberkahan dari Allah swt.  Lantas, di saat kita masih diberi kesempatan hidup dan kelebihan harta oleh Allah, mengapa kita tidak bergegas untuk mewaqafkan harta kita di jalan Allah?

 


[1] Imam Jurjaniy, At Ta’rifaat, juz 1/84; Thalabatuth Thalabah, juz 3/81; Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3, hal.308

[2] Tuhfatul Muhtaaj fi Syarhil Minhaaj, juz 25/307

[3] Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3, hal. 308

[4] Imam Jurjaniy, at Ta’rifaat, juz 1/84

[5] Tuhfatul Muhtaaj fi Syarhil Minhaaj, juz 25/307

[6] Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3, hal.308

[7] Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy, Fath al-Baariy, juz 8/350

[8] Imam Ibnu Hajar Al Asqalaniy, Fath al-Baariy, juz 8/350

[9] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz  4, hal. 259

[10] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no.

[11] Imam Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, hadits. no. 1297

[12] Imam al-Sanadiy, Syarah Sunan al-Nasaaiy, hadits. no. 3591

[13] Al-Hafidz al-Suyuthiy, Syarah Sunan al-Nasaa’iy, hadits. no. 3591

[14] ‘Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, hadits. no. 2494

[15]  Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat Alfaadz  al-Minhaaj, juz 10/89

[16]  Waqaf dari orang yang sakit keras dan hampir mendekati ajalnya dianggap sah, asalkan jumlah harta yang diwaqafkan tidak merugikan ahli warisnya, yakni pada kisaran 1/3 dari jumlah hartanya, tidak boleh lebih kecuali atas ijin keluarganya. [Mughniy al-Muhtaaj, juz 10/89]

[17] ibid, juz 10/89

[18]  Lihat Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3/309.

[19]  Ibid, juz 10/89

[20] Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3/310; lihat juga Mughniy al-Muhtaaj, juz 10/89

[21] Imam Asy Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 6/126

[22]Lihat Imam Asy Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 14/97; Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ al-Fatawa, juz 8/45; Al-Shan’aniy, al-Bahr al-Zukhaar al-Jaami’ li Madzaahib ‘Ulamaa’ al-Amshaar, juz 10/372.

[23] Lihat Mughniy al-Muhtaaj, juz 10/103-dst; Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3, hal. 310

[24] Mughniy al-Muhtaaj, juz 10/108

[25] Mughniy al-Muhtaaj, juz 10/109

[26] Mughiy al-Muhtaaj, juz 10, bab al-Rukn al-Tsaalits, Al-Mauquuf  ‘Alaihi

[27] Mughniy al-Muhtaaj, juz 10, al-Rukn al-Raabi’, Al-Shiighah

[28] Mughniy al-Muhtaaj, juz 10, bab Syuruth al-Waqaf

[29] Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3, hal. 311

share